Selasa, 28 Juni 2016

Cerpen Cinta 2016


Mencintai Bukan Untuk Dicintai
Elfira Agustin

            Di sebuah kamar sederhana yang menyimpan banyak cerita untuk seorang wanita tempat dia bertahta. Kamar adalah sebuah objeck pertama untuk seorang wanita dalam memilih sebagai tempat menyendiri. Berawal dari hujan dengan suara rintik-rintiknya membawa diri seorang wanita terluka hingga membasahi seluruh tubuhnya. Alunan musik yang berputar menghiasi malam yang berpeluk rindu. Dalam doa ku menginginkannya bukan untuk di cinta.
            Aku bukanlah wanita yang sama seperti mereka yang mudah jatuh cinta oleh seorang pria. Aku terlalu mencintainya sampai aku sadar cinta itu membawa luka. Tapi yang aku tau cinta itu adalah anugerah yang datang dalam jiwa. Itu menjadi alasan kalau cinta itu indah saat mereka merasa bahagia.
            Sampai suatu hari aku menemukan jalan untuk bertahta. Pertemuan yang terjadi di sebuah ruangan yang ramai dengan awal percakapan yang konyol. Pria itu telah membuka mataku, bahwa tidak semua pria sepertinya. Karena dengan karakternya mengenal seorang wanita di hadapannya. Dihatiku berkata, “Akankah aku mengenal cinta? Akankah aku mampu membukakan hatiku untuk orang lain?” pertanyaan itu yang tanpa arti tak pernah terjawabkan olehku. Hanya dentingan waktu yang mampu menjawabnya.
            Seolah aku telah lupa akan hari-hari yang tak terbiasa melintas. Hari itu, ini, besok dan selanjutnya hingga cinta itu tau dimana arah jalan pulangnya. Mungkin cintaku tersesat pada jalan yang kelam. Sampai aku lupa oleh canda tawanya sebuah persahabatan yang masih utuh dan selamanya akan selalu ada.
            Pertemuan itu memulai kembali percakapan yang membosankan. Chatting dengan adanya sebuah topik tanpa terpikirkan kata-kata. Hingga kita mampu mengenal satu sama lain. Berawal dari pergaulan yang memberanikanku untuk mulai mengenalnya. Di kala wajahnya terlintas dengan senyuman indah. Sapaan manjanya yang membuatku terpanah. Tatapan matanya setajam pisau. Bibirnya yang memudarkan sajak-sajak aku ingin berpuisi. Jejaknya yang selalu ku kenang bersama memori pertemuan singkat ini.
            Sampai aku berharap tiada ujung hentinya kita di pertemukan oleh satu titik topik. Rayuannya yang membuatku meleleh. Genggamannya seakan tak mau kehilangan. Mungkin aku mengenal hujan yang berjatuhan dengan pelangi siang sebagai wadah cinta yang mulai bergairah. Sampai pada akhirnya aku bertanya kembali dari dalam hatiku yang amat dalam, “Apakah aku dapat membuka hati untuk seorang pria yang mampu membuatku jatuh hati? Apakah cinta itu berada pada orang yang benar?” Cinta tak pernah salah ataupun benar. Karena cinta hanyalah anugerah yang datang dari jiwa yang tulus.
            “Apakah aku berdosa telah mencintainya diam-diam,” pertanyaan itu muncul lagi ketika aku mengingat bahwa sebagian besar cintaku semata hanya  untuk Allah swt. Katika bibir tak mampu berkata, hanya doa yang menjelma. Ketika bibir telah lelah untuk mengataknya, hanya tulisan indahku yang menjadi sebuah kenangan kita. Ketika seseorang menginginkan sebuah tokoh di novel. Tapi karakter mereka yang telah di pilihkan dan bukan memilih. Karena ketika kita di pilihkan selalu ada kata tidak akan bisa mencintai bila cinta tidak dari kedua hati yang saling menumbuhkan hati.
            Sampai suatu ketika ayah berkata kepadaku, “Apakah kamu sudah punya pacar? Siapa pacarmu? Siapa orang yang kau cintai? Kenalkan kepada ayah,” Mendengarnya membuatku terdiam. Tak menjawabnya, hanya dengan senyuman yang mampu ku pancarkan untuk lelaki hebat sepertinya. Yang selalu ada dalam setiap langkahku berpijar, yang selalu menjadi pelukku saat tetesan air mata membasahi seluruh tubuhku. Dia adalah lelaki terhebat dalam hidupku, Ayah.
            Petikan gitarmu yang mengawali getaran hatiku. Suara indahmu yang selalu ku dengar. Alunan musikmu yang sering ku putar. Menunggu sebuah ponsel balasan darimu, sampai semuanya hanya menjadi angan-angan mimpi. Dan semua tentangmu masih ku ingat di hati. Tatapan matamu seolah mengawali sebuah cerita kita saat itu. Satu, dua, tiga, bulan bahkan setelah satu tahun aku telah mengenalmu cukup jauh. Hingga diam-diam aku melihat semua akun sosmedmu.
            Semua sosmedmu ingin rasanya ku pegang. Kenyataannya aku menemukan masa-masa kecilmu yang amat lucu dan menggemaskan. Tapi kamu tak pernah mengetahuinya. Perempuan yang mempunyai cinta yang tulus itu tak pernah mengungkapkannya kepadamu. Apa karena gengsi diantara kita? Mencintai diam-diam bukan untuk dicintai walaupun kita tau resikonya. Pasti diantara kita harus terima  jika suatu saat ada yang terluka. Ya, terluka karena hati kita tak dapat memiliki cinta yang suci itu.
            Ku jalani hari-hari sendiri dengan duniaku. Sampai aku tiada ujungnya belajar untuk amesia. Saat ketemu kamu wajahku yang memerah, memendam malu dan rindu yang amat dalam. Sungguh menyakitkan, pria itu hanya bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi? Ya, dia benar-benar tidak peka pada lingkungannya. Tapi bukannya tidak peka, pria itu tau. Namun, dia tidak mau jika wanita yang telah di anggapnya sahabat itu akan sakit hati. Jika tau sebenarnya pria itu suka sama temanku sendiri.
            Mendengar kabar tentang itu, aku memutuskan untuk menjauh darinya. Antara malu, dan rasa gengsi yang amat besar bagi wanita sepertiku untuk mengungkapkan perasaan ini yang tiada ujungnya. Aku harus berusaha tersenyum, mengisi hari-hari tanpamu. Walau aku tau disini masih ada sahabat tercintaku yang selalu ada untukku dan membuatku tersenyum setiap saat. Aku juga melihatmu disana yang tertawa, tersenyum bahagia bersama kawan-kawanmu. Itu sudah cukup buatku kalau kamu masih baik-baik saja disana. Aku masih punya ayah yang begitu menyayangiku. Keluarga yang masih utuh, dan masih bersyukur jika hari ini aku masih di beri nafas hidup untuk melihat semua orang-orang yang kusayangi.
            Padahal aku gak tau jika di luar sana masih banyak teman-temanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, dan semua manusia di muka bumi ini yang jauh dari sempurna. Mereka anak yang seumuranku masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Dimana dia menjelang masa puber, yang masih labil-labilnya. Tapi dia harus berjuang dan menjalani hidup sendiri karena dia hidup tanpa kedua orang tua yang sudah pergi entah kemana. Karena mereka sudah bahagia di sisi Allah. Setidaknya aku juga harus berpikir bagaimana kehidupan di luar sana. Bagaimana susahnya orang yang tidak punya orang tua. Mereka pasti jauh lebih baik dariku.
            Inilah hidup terkadang kita tidak tau harus memilih jalan yang mana. Karena mungkin semua manusia punya perasaan. Perasaan cinta yang gak pernah bisa di lawan. Mencintai satu orang yang special hingga menolak semua orang yang mendekatinya hanya karena ada rasa. Sampai pada akhirnya menyesalah sudah tiada ujungnya. Kita harus belajar lagi lebih dalam di antara bintang-bintang yang lebih baik. Di sana rasi bintangku dan rasi bintangmu menanti. Diatas langit yang jauh dari planet bintang. Aku belajar mencintai seseorang tanpa harus di cintai dengan rasa di lubuk hatiku yang tiadaa ujungnya jalan. Hingga kau tau dimana kau harus pulang.
           
Aku mencintai bukan untuk dicintai
            Mencintaimu adalah anugerah jiwa
            Menyayangimu adalah kehendak cinta
            Belajar melupakanmu adaalah caraku
            Pertemuan yang tiada ujungnya akan berpisah
            Inilah cinta yang tak saling memiliki
            Dua hati yang tak mungkin bersatu
            Hingga kau tau…
            Dimana jalan kau harus pulang untuk cinta
            Salam dari negeri cinta di sabrang samudra…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar