Hijrah
Seorang Wanita Mualaf
Elfira Agustin
“Hijrah
itu memperbaiki diri, Wanita itu selalu terlihat mempesona bagi semua lelaki
jika mereka memandangnya dengan nafsu kecuali mereka yang beriman kepada rabb
nya… Bagaimana cara muslimah itu memperjuangkan hijabnya sampai kesyar’i, cara
muslimah itu menjaga pandangannya dan saat ini wanita berjilbab telah menjadi
pemandangan sehari-hari. Sayangnya, filsofi jilbab belum banyak dipahami secara
utuh oleh pemakainya. Jilbab masih dimaknai sekadar mode, tak dijadikan fungsi
taklim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tarbiyah (pembinaan), tashfiyah
(permuniaan cara pandang), dan tarqiyah (peningkatan kualitas kepribadian).”
Tak
pernah terpikirkan sebelumnya jika aku harus mengenakan khimar, menutup kepala
dan rambutku. Semua berawal dari ketertarikanku melihat kawan sekelasku
berhijab, aku pikir mereka terlihat cantik dan anggun memadukan warna pakaian
dengan khimar-nya. Dan dari sanalah aku tertarik untuk mengikuti langkah
teman-temanku mengenakan busana tertutup dan memakainya. Awalnya aku hanyalah
seorang wanita yang selalu mengenakan pakaian terbuka yang selalu mengundang
hawa nafsu lelaki yang ingin mendekatiku.
Perjuanganku
belum dimulai, itu hanya kegemaranku mengoleksi pakaian tertutup dan khimar,
perjuanganku justru dimulai ketika aku berpikir bagaimana caranya seorang
wanita non muslim sepertiku bisa berhijab, apa tanggapan tetangga dan
teman-teman kampusku nanti? Tapi hal ini tidak terlalu aku hiraukan, aku pikir
justru mereka akan senang melihatku terlihat sama seperti mereka, dan yang aku
takutkan justru keluargaku, terutama Ibu. Alasan apa yang harus aku berikan
untuk Ibuku? Ingin bibir ini berkata ‘Ibu, aku ingin berhijab’ meskipun dulu
niatku berhijab bukan untuk memenuhi kewajiban sebagai muslimah untuk menutup
auratnya tapi hanya sekedar fashion belaka. Aku terus berpikir, hingga akhirnya
aku menemukan alasan yang tepat untuk aku berhijab.
Karena
setiap hari aku berangkat ke kampus memakai kendaraan umum, yang tidak semua
penumpangnya mengerti, selalu saja ada yang merokok, itu membuatku sesak dan
bau karena asapnya. Dari rumah bersolek habis-habisan dan memakai minyak wangi
tapi tetap saja ketika tiba di kampus wangi parfumku berubah menjadi bau asap
rokok. Itulah alasanku, agar rambutku tidak bau asap rokok dan bau matahari
jadi aku memutuskan menutup rambutku dengan khimar yang diam-diam aku kumpulkan
selama ini.
Hari
pertama berhijab, rasanya aneh, ada sesuatu yang berlebihan di kepalaku, aku
harus terus menjaganya supaya tetap rapi, kemana-mana cermin selalu aku bawa,
aku takut khimarku berantakan dan aku tidak bisa merapikannya kembali. Di
kampus, apa yang aku duga ternyata tidak salah, teman-temanku justru terlihat
senang dengan penampilan baruku, tak sedikit dari mereka yang memujiku, dank
arena pujian dari merekalah aku semakin bersemangat untuk terus berhijab.
“Bruakk…,”
“Maaf..
maaf saya gak sengaja, mari saya bantu,” Kata seorang wanita cantik yang
mengenakan khimar sama sepertiku. Tak sengaja dia menabrakku sampai seluruh
buku yang ku bawa menjadi berantakan.
Aku
tak melihatnya dan menutupi wajahku dengan khimar yang ku kenakan sambil
bergegas membereskan bukuku yang berjatuhan di bawa. Wanita itu memandangiku.
Ku kira dia akan mengenaliku.
“Hei..
kamu anak baru ya? Baru pertama aku melihatmu? Masuk kelas apa?” Tanyanya
sambil menatap dan tersenyum kepadaku.
Ternyata
salah, dia sama sekali tidak mengenaliku dan malah dia menganggapku murid baru
dan baru pertama melihatku berada di kampus itu. Dia terus menanyaku
bertubi-tubi. Namun aku hanya terdiam sejenak mendengarkan ocehannya.
“Stop!
Stop! Marwa. ini aku, Kimmy,” Kataku yang lalu ku ulurkan tanganku untuk
mengunci mulutnya yang tak hentinya mengoceh.
“Kimmy?
Kamu mengenakan hijab?” Tanyanya sambil menatapku dari bawa keatas, dari atas
ke bawa.
“Iya
aku mengenakan khimar ini untuk melindungiku dari panas matahari,” Ucapku tak
mau jujur.
“Kamu
terlihat cantik, sungguh aku sampai tak mengenalimu,” Katanya yang memujiku
laksana menjadi sebuah motivasiku yang pertama mendapat pujian dari seorang
sahabatku.
Marwa adalah sahabatku dia wanita yang berbeda agama
denganku tetapi dalam pertemanan kita tak memandang perbedaan.
Lalu
ku segera menjelaskan semuanya kepada Marwa atas keinginanku berhijab. Marwapun
membawaku pergi ke kelas dan menunjukkan kepada teman-teman sekelasku dengan penampilan baruku. Semuanya
terlihat terpesona melihat penampilan baruku, katika aku memasuki kelas mereka
melongo melihatku yang berubah dratis. Dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Dulu aku selalu mengenakan pakaian terbuka dengan celana pendek dan pakaian
yang selalu mengundang nafsu lelaki. Semua temanku mendukungku, dan memujiku.
Tetapi hanya ada salah satu temannku yang malah menghinaku habis-habisan.
Mungkin mereka tak menyukai diriku.
“Hey…
lo pakai hijab? Lo kan Kristen? Yang selalu membuka aurat dan menebar pesona di
depan para lelaki,” Celetus Dinda teman sekelasku yang sangat membenciku. Dinda
adalah anak dari pemilik donator terbesar di kampusku. Semua anak sekelas tak
mungkin menegurnya. Dinda memang berbeda agama denganku dia juga beragama
muslim yang juga mengenakan hijab sepertiku tetapi dia sudah sejak SMP,
sedangkan aku baru sekarang. Namun itu belum sepenuhnya ku lakukan untuk
menyempurnakan hijabku.
Seiring
berjalannya waktu, hidayah itu perlahan menyapaku, aku pernah mendengar bahwa
fisik ini terhijab secara otomatis hatipun ikut terhijab dan hijab itulah yang
akan mengekang kita untuk tidak berbuat buruk.
Berawal
dari Ibu yang mengenalkanku dengan seorang pria yang sama sekali tak terbayang
olehku. Jika pria itu yang sekarang menemani hari-hariku, yang selalu
membimbing aku menjadi wanita yang lebih baik.
Sedikitpun
tak ada rasa suka, cinta, apalagi sayang untuknya. Entahlah, aku tak tahu apa
tujuan Ibu mengenalkan pria itu kepadaku. Bukankah Ibu menginginkanku menikah
dengan pria yang memeluk agama sama seperti kita. Kata Ibu pria itu baik,
bijksana, pekerja keras, dan bertanggung jawab, itu yang Ibu suka darinya
meskipun kita berbeda agama.
Aku
bingung, kesal dan merasa lelah, tak tahu apa yang harus ku lakukan sementara
Ibu semakin gencar mendekatkanku dengan pria itu. Hingga akhirnya aku meminta
pendapat seorang sahabat, dan dia menyarankan “Sebaiknya kau turuti perinta
Ibumu dan membuka hati untuk pria itu,”. Dan aku berusaha mencoba membuka hati
untuk pria pilihan Ibu.
Ketika
benci itu menjadi cinta, mungkin ini kalimat yang pas untuk mewakiliku saat itu.
Dulu aku yang sangat membenci pria itu justru sekarang aku sangat mengaguminya.
Dan dirasa cinta itu sedikit demi sedikit mulai tumbuh. Masalah baru muncul,
Ibu berbalik menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan pria itu kecuali aku
bisa mengajaknya memeluk agama yang kita anut. Aku bingung justru ketika aku
memutuskan berhijab dan membuka hatiku untuk pria itu, ada getaran di hatiku untuk
mengenal islam. Tapi aku tak kuasa mengutarakan inginku itu kepada Ibu.
Aku
tak tau dengan keinginan Ibu. Rasa ini masih terus menghantuiku. Sesuatu yang
menarik-narik hatiku untuk terus mengenal islam. Dan pada akhirnya aku mengenal
seorang sahabat yang selalu memotivasiku. Memberikanku semangat! Menerimaku apa
adanya untuk menjadi teman baiknya! Dia bernama Firda. Wanita muslimah sholiha
yang lemah lembut. Aku memintanya untuk mengajariku mengenal islam lebih jauh.
Secara diam-diam untuk belajar islam di sepengetahuan ibu hingga akhirnya
aktivitasku tercium oleh Ibu. Amarah semakin memuncak ketika aku mengucapkan
dua kalimat syahadat dalam melaksanakan kewajibanku sebagai manusia baru, yaitu
sholat. Semua itu berat untuk aku jalani, semenjak memutuskan berhijrah cobaan
bertubi-tubi menghampiriku, aku merasa bahwa keberadaanku di rumah tidak di
anggap, aku merasa asing dilingkungan keluargaku sendiri, diacuhkan dan di
diamkan tanpa ada satu kalimat sekedar menanyakan keadaanku. Satu tahun
berlalu, sunyi… sepi… itu menegurku. Tanpa ada perbincangan komunikasi bahkan
canda tawa di antara kita.
Sebagai
manusia biasa yang merasa tersakiti, aku akan terus berusaha untuk mencoba
bersabar. Tegar dalam menghadapi masalah ini, walau berat kulewati tetapi rasa
semangatku pun tak pernah gentar menghadapinya! Allah mengajarkan untuk
menghadapinya dengan sabar dan sholat sebagai penolong agar hati kita terasa
tentram dan tenang.
Oleh
karena itu aku ikhlas menerima semua resikonya, meski semua mengasingkanku,
tapi aku memaklumi Ibu yang ketika itu menjadi sangat membenciku.
“Iya
benar, Ibu yang mana yang mau anaknya keluar dari agama yang dianggapnya
benar,”.
Puncaknya
ketika aku merasa kesabaranku sudah habis, aku sudah tidak tahan berada di
lingkungan yang asing ini. Aku ingin memutuskan untuk pergi dari rumah dan
meninggalkan keluargaku untuk pergi berhijrah menjalankan semua kewajibanku.
Mungkin itu akan merubah suasana rumah menjadi lebih baik. Dengan menghilangnya
kehadiranku di rumah.. Rumah yang dulunya sangat ramai, di penuhi dengan canda
tawa oleh kedua orang tuaku dan adikku kini menjadi sepi dan sunyi seakan
mereka hidup berindividu. Aku pun menulis sepucuk surat, agar kedua orang tuaku
tidak khawatir kalau aku akan baik-baik saja.
Dear
Keluargaku,
Assalamualaikum
wr.wb.
Maafkan Kimmy yang tak
lagi mendengarmu. Maafkan segala dosa yang telah ku perbuat. Mungkin kalian
semua tidak menginginkanku. Munkin kalian semua tidak menginginkanku. Aku
terpaksa berbuat ini, karena ini sudak kehendak yang kuasa. Aku mendapat
hidayah untuk menjalankan kehidupan baruku. Aku berharap kalian tidak
membenciku, walaupun kita telah berbeda. Dan aku berharap kalian akan tetap
mengingatku.
Satu hal yang kau tahu,
sama sekali tidak ada rasa benci terhadap kalian. Walau tiada kata yang terucap
diantara kita. Aku akan berusaha menjadi manusia yang sesungguhnya. Dan sampai
pada suatu hari nanti aku akan kembali untuk membuktikan semuanya! Terima
kasih, Ma, Pa. Maafkan anakmu ini. Adikku tolong jaga dirimu baik-baik dan
jadilah anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan janganlah kau meniru
kakakmu ini yang telah durhaka kepadanya.
Walaikum salam wr.wb.
Salam Rinduku
Kimmy’s
Perjalanku
dimulai dari nol, aku pergi meninggalkan rumah dan merantau ke kota impianku
Surabaya. Dulu aku sangat menginginkan kota ini, karena Ibu dan Ayah yang
melarangku pergi ke kota ini. Kota asalku di Pekan Baru, dan aku benar-benar
telah pergi jauh dari mereka semua. Aku mengenal kehidupan baruku bersama
sahabatku Firda wanita muslimah yang selau memotivasiku dia berasal dari Kota
Surabaya. Aku memutuskan tinggal di sebuah Asrama bersamanya.
SatuTahun
berlalu…
Rasa
rindu pun mulai kurasakan. Aku yang kini telah berada dalam kehidupan baruku,
dilingkungan baruku yang jauh berbeda dari hidupku yang sebelumnya. Tanpa alat
komunikasi aku tak pernah tau bagaimana keadaan di luar sana, bagaimana kabar
orang tuaku, bagaimana kabar adik-adikku, kabar sahabat-sahabatku dan kabar
pria itu. Tetapi lambat laun aku bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku, aku
sudah terbiasa untuk belajar mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendiri,
aku belajar hidup mandiri dan belajar hidup sederhana. Semua berawal dari nol
aku belajar islam, dari menghafalkan huruf hijaiyah, menulis dan membaca
tulisan arab. Semua itu karna Firda yang membimbingku dan mengajariku.
Seminggu
yang lalu aku berjalan-jalan di suatu taman dan disana aku menemukan suasana
baru yang indah dengan seluruh bunga-bunga yang harum. Aku duduk di suatu
tempat sambilku membaca sebuah buku islami. Menunggu seseorang di sana.. Namun
aku bertemu dengan sahabatku yang kini telah berada di Surabaya. Dia menyapaku
dan sempat kita berbincamg-bincang. Dia menceritakan semua kepadaku, apa yang
terjadi di kota Pekan Baru. Semuanya menjadi tentram dan nyaman sejak kepergianku.
Memang benar ku pikir mereka bisa hidup tanpaku tetapi apakah tidak ada rasa
rindu mereka kepadaku? Dan pada akhirnya Marwa sahabatku memberikan sepucuk
surat titipan dari kedua orang tuaku. Surat itu mulai ku buka dan ku baca..
Dear
Anakku Kimmy’s,
Hai
nak? Apakabar kamu yang jauh disana dengan kehidupan barumu? Kami sekeluarga
sangat merindukanmu. Rumah ini menjadi sepi.. sunyi tanpamu. Bagaikan rumah
tanpa atap, sekali kehilangan satu menjadi tidak sempurna. Tiada lagi yang
membuat kekacauan di rumah. Tiada lagi yang membuat perdebatan antara kamu dan
adik. Tiada lagi yang membantu mengacaukan masakan Ibu. Tiada lagi yang selalu
membuat ayah marah-marah setiap saat jika nilaimu jatuh. Itu akan selalu kami
rindukan walau sikap dan perbuatan yang membuat kita merasa jengkel kepadamu. Kami
sangat menyayangimu. Kami sekeluarga berharap jika kamu benar-benar telah
menjalankan kehidupan barumu di kota barumu. Semoga kamu bisa menjadi orang
dengan kepribadian yang lebih baik. Menjadi anak yang berguna bagi semua orang.
Menjadi dewasa dan benar-benar mandiri tanpa menyusahkan orang lain di
sekitarmu. Ingat satu hal, jangan pernah berubah menjadi power rangers yang
telah sukses dan melupakan kami semua yaa! Miss you, sayang.
Salam Hangat
Keluarga Tercinta
Aku
sangat terharu membacanya, aku sangat senang jika mereka masih menganggapku
sebagai anaknya. Aku masih dapat melihat mereka marindukanku walau hanya dalam
bentuk tulisan kecil ini. Tetapi itu membuatku tenang. Dan aku berkata dalam
hati, setelah aku selesai membaca surat dari keluargaku di Pekan Baru,”Ma..
pa.. dik.. kakak sudah menjadi anak yang telah kau inginkan, maafkan Kimmy jika
dulu pernah menyakiti hati kalian, dan Kimmy janji akan kembali untuk
menyambung silaturahmi kepada kalian dan Kimmy juga sangat merindukan kalian,”
“Terima
kasih Marwa kamu telah menyampaikan pesan mereka kepadaku,” Ucapku yang lalu
memeluknya sambil menumpahkan rinduku kepadanya.
Marwa
pun menangis, aku tak tau kenapa dia tiba-tiba menangis saat aku memeluknya.
“Kim..
Apa kamu sudah tau?” Tanya Marwa tersedu-sedu.
“Kenapa
Mar?” Jawabku merasa bingung.
“Kak
Firda.. Kimm,” Kata Marwa terputus-putus.
“Ada
apa dengan kak Firda Kim?” Tanyaku khawatir.
“Kak
Firda semalam menitipkan ini kepadaku, dan dia pergi ke rumah orang tuanya di
Malang sana, tetapi apa yang terjadi? Kak Firda mengalami kecelakaan Kim saat
di perjalanan dan sekarang kak Firda telah meninggal dunia,” Jelas Marwa sambil
menangis dan memberika sebuah kotak merah jambu kepadaku titipan Kak Firda.
Akupun
histeri ketika mendengar berita itu dari Marwa. Baru kemarin aku bersamanya
masih tertawa dan bergurau tetapi dengan waktu yang singkat Allah telah
mengambilnya dan di tempatkan ke tempat yang jauh di sana ‘Surga’.
Aku
menangis dan memeluk Marwa. Banyak kenangan yang telah kita lewati. Karenanya
aku bisa menjadi seorang wanita muslimah yang jauh lebih baik. Aku membuka
sebuah kotak merah itu dan didalamnya terdapat sepucuk surat dan sebuah hijab
untukku. Aku mulai membaca isi surat itu sambil bergemetaran tanganku ketika
membuka isi surat itu.
Dear
Kimmy’s,
Assalamualaikum
wr.wb.
Kimmy, maaf kak Firda gak sempat pamit ke kamu. Kakak menitipkan sebuah
kotak berwarna merah ini kepada Marwa untukmu. Dan semoga sampai kepada kamu
dan kamu juga membaca surat ini. Kakak mau ke Malang beberapa hari ini, karena
orang tua kakak yang sedang sakit. Ada sebuah hijab untukmu. Sebenarnya sudah
lama aku menyimpannya untukmu. Aku selalu lupa untuk memberikannya.
Semoga kamu suka ya..
Dan
semoga kamu selalu mengenakan hijab itu untuk mengingat kakak. Saat kelak kakak
tidak bisa kembali lagi bersamamu.
Wasalamualaikum wr.wb.
Salam Firda
Sedih.
Itulah yang ku rasa saat ini. Orang-orang yang ku sayangi kini telah pergi.
Setelah aku pergi meninggalkan orang-orang yang ku sayang kenapa orang yang ku
hampiri kini juga meninggalkanku. Walau terasa berat hari-hariku tanpanya.
Tetapi beliau telah membekaliku kehidupan yang lebih baik. Mungkin aku harus
mengikhlaskannya. Semoga Allah menempatkannya di sisi orang-orang yang beriman.
Terima
kasih telah menjadi kakak terbaik Kimmy’s. Kimmy’s akan merindukanmu termasuk
merindukan semua orang-orang yang ku sayang baik itu yang pergi dan
kutinggalkan untuk mencari hidup yang sesungguhnya.
Kesulitan
sebesar apapun akan terasa wajar bagi jiwa yang penuh syukur, karena bukan
kebahagiaan yang menjadikan kita bersyukur, tetapi rasa syukurlah yang membuat
kita bahagia. Jiwa yang merasa bersyukur akan bahagia, bahkan diatas masalah.
Jika
tidak merasa bersyukur, semua yang baik dan indah menjadi buruk dan
menyakitkan. Kemana pun kita pergi, terasa seperti penuh penderitaan, tiada
hari tanpa gelisah, tiada hari tanpa kejenuhan, bukan hidup yang membuat kita
jenuh. Tetapi ketiadaan rasa syukur yang membuat semuanya terasa buruk dan
menjenuhkan.
Sekecil
apapun masalah yang ku hadapi akan terasa besar dan membuat kita selalu
mengeluh, jiwa yang malas tetap tersesat meskipun sudah sampai jiwa yang tamak
tetap mengeluh di atas kekayaan.
“Be
Grateful for What You Have and Stop Complaining,”
Dapatkan Buku kumpulan cerpennya di toko buku Padmedia :)
Facebook : https://www.facebook.com/Elfira328
Instragram : https://www.instagram.com/elfiragustin21/