Senin, 26 Februari 2018

Cerpen 2018


Mimpi Sedu

Karya Elfira Agustin
Aku adalah seorang anak melankonis. Selalu ingin menangis tanpa tahu sebabnya. Kadang aku malu dilihat oleh orang lain. Aku hanya butuh satu tempat yang nyaman, untuk merenung, memikirkan sesuatu hal. Orang lain mungkin tidak akan pernah memahami, apa yang aku rasakan. Orang lain hanya mengerti, inilah aku yang seperti terlihat sempurna. Tapi, apa kalian tahu hati ini sedang terluka? Perasaan ini, batin ini, pikiran ini, seperti tertekan oleh beban hidup yang tak akan ada habis.
Apa yang kalian tahu tentang latar belakang kehidupan seorang sempurna sepertiku? Manusia cantik bertubuh tinggi, berkulit putih, penampilan menarik dan cukup dipandang baik? Ya, kriteria itu memang miliku. Kalian hanya memandang seseorang sekilas dari luarnya saja, kalian tidak akan tahu latar belakang seseorang sesungguhnya. Begitu pula aku, tidak tahu siapa kalian. Aku tidak ingin kalian mengenalku lebih dalam, karena itu akan menambah rasa sakit ini. Aneh? Tertutup? Sudah banyak orang menilaiku sedemikian rupa. Selalu aku berpikir jika ini adalah hidup yang harus aku atasi dan aku tanggung sendiri walaupun pada dasarnya aku bukanlah malaikat terbaik yang mampu melakukan segalanya.
Setiap orang selalu memiliki masalah dalam hidupnya, harapanku hanya ingin masalah itu akan ada jalan penyelesaiannya. Meskipun harus melewati perjalanan yang teramat sulit. Seseorang yang berada di benakku selalu menghampiri setiap aku sedang dirundung kesepian kala tawa sepanjang keramaian itu mulai menghilang. Air mata ini masih setia menetes, meninggalkan jejak tanpa tuannya. Suara isak tangis yang memaksa untuk berhenti terasa amat berat, hingga mengakibatkan hidung ini kembang-kempis oleh udara tipis disekitar sesak napasku.
“Jangan bersedih lagi, apa yang membuatmu terus bersedih seperti ini?” tanya pria berwajah putih salju, berambut messy dan tubuh tinggi sangat kurus.
Aku tidak menjawab, terus terobsesi pada duniaku sendiri yang seakan mati. Pria itu terdiam, sepertinya dia sudah lelah memperdulikanku. Baguslah, biar saja aku tetap seperti ini tanpa banyak orang mengerti. Bagiku itu akan menambah sesak, aku akan selalu terbayang oleh cerita sedu. Aku tidak kuat untuk melepaskan gelora dalam dadaku yang mencicit bagai serangga kecil dalam kurungannya.
“Apa ada baiknya mengurung dirimu sendiri? Apa ada yang tahu kalau kamu sedang sedih dan butuh sandaran? Aku di sini selalu bertanya dan kamu terdiam menghabiskan waktu dengan bisu tanpa pernah memperdulikan seberapa banyak rintik sedu yang sedang kamu kumpulkan pada ruang pias wajah indahmu itu?” ternyata dugaanku salah, pria itu masih saja kokoh menemani setiap sedih yang menjalari pikiranku dan menguras seluruh tenagaku setiap detiknya.
Aku menggeleng, kali ini pria itu menghembuskan napas lelah. Dia melihat aku sangat lekat, seolah aku adalah lukisan indah yang sedang diabadikan untuk dinikmati. Sepasang kakinya merapat, melurus untuk berselonjor dan bersandar pada diding yang sama denganku. Apa maksudnya dia di sini? Aku merasa memiliki teman sedih, walau tak pernah bisa aku membuncahkan amarah ini pada mereka, aku hanya ingin menyimpannya sendiri dan memiliki seseorang di sampingku seperti detik ini.
Dia membelai rambutku dari samping, diusapnya air mata ini yang terlalu sukses membawa bengkak di setiap sudut mataku. Tanpa aku duga, tangan pria itu meraih kepalaku dengan hati-hati untuk di bawanya bersandar pada pundak kokohnya. Aku mengikutinya, membiarkan seluruh atmosfir tersita oleh waktu. Seberapa lama aku terdiam di posisi ini, hingga tidak sadar semakin lama masalahku larut oleh kenyamanan.
“Jangan pergi... jangan pergi... aku kesepian..” aku terus menggumam tidak jelas dengan suara lirih dan serak. Pria di sampingku jelas mendengar, ia mengusap pipiku dengan lembut. Kemudian berbisik sangat tenang, “tidak akan pergi, kamu bersamaku, bukan bersama kesepian.”
Tidur. Aku tertidur. Dan, keesokannya aku akan terbangun dari mimpi buruk.
***
“Kurang satu bulan lagi aku akan melaksanakan Ujian Nasional, aku tidak memiliki kemampuan dalam dua mata pelajaran. Aku takut kalau nilaiku jelek dan semua mimpiku hilang. Terlalu banyak beban yang sedang aku tanggung, Bon.”
“Kamu tidak dengar kedua orang tuaku selalu meributkan pertikaian antara rumah tangga rumit ini? Aku jadi malas bertemu laki-laki. Apalagi merasakan indahnya jatuh cinta. Hitam putih dalam hidupku tidak ada. Semua terasa abu-abu dan tidak jelas, sampai sekarang aku belum mempersiapkan diri. Jangan salahkan jika nilaiku jelek. Mereka saja juga tidak pernah mengerti aku, Bon. Mereka tidak tahu sudah berapa banyak uang yang aku keluarkan. Aku tidak pernah meminta mereka ketika sedang ada keperluan. Tapi, aku masih anak pelajar yang sekali dapat kerja kemarin langsung merasa tidak cocok karena berbeda dari keahlian aku.”
“Kenapa tidak ada orang yang mengerti perasaan aku, Bon? Kenapa?”
Aku bertanya pada Boneka yang sedang berada dalam pelukanku. Boneka kecil yang berwarna biru gelap itu senantiasa menjadi teman ceritaku ketika sedang berada di kamar kecil ini. Seperti ada badai yang sedang berperang dalam hatiku kala itu, isak tangis seorang anak kecil terdengar keras sedang beradu mulut tanpa ada satu pun ingin mengalah dan menghindar. Sama seperti keegoisan dalam diri manusia, kepala ini lagi-lagi dipenuhi oleh gejala pening yang sudah tidak tahan lagi untuk tetap utuh, sehingga letupan-letupan pecah pada tempatnya bersamaan dengan hari penyesalan di alam dunia ini.
“Kita cerai saja, bila kamu tidak bisa menerima dan kesusahan itu juga karena ulahmu.”
Aku mencuri-curi suara kecil dari seberang sana, sudah kumarahi kedua anak kecil yang sedang beradu mulut serta tangis. Aku kesal, merasa tidak ada gunanya, kurebahkan tubuh untuk mengambil benda pipih dan mengenakan earphone sebagai gantinya pikiran rumit ini agar segera bergeser oleh ketenangan. Begitulah caraku untuk mengusir sedih, aku juga tidak ingin menangis dalam kondisi seperti ini. Ketakutan yang salama ini aku hindari akan benar terjadi.
Keluargaku semakin hancur.
Adikku tidak pernah akur.
Sekolahku juga semakin hancur.
Sikap acuhku menjadi boomerang.
Tidak ada yang tersisa dari kesedihan ini selain sedih dan sedih.
Siapa yang bisa mengerti? Uang sekolah belum juga dibayar, uang ujian, uang yang telah aku pakai dari teman-teman karena kegiatan tak terduga, uang untuk meminjami kedua orang tuaku dalam kehidupan makan bila tidak ada. Uang untuk kesejahteraan hidup setiap harinya, uang jajan, uang listrik, hutang di arisan temannya. Akh... ini terlalu tentang materi. Apa sesulit itu hidup mencari materi yang matang? Kenapa harus ada aku di dunia ini jika materi belum matang?
Tidak, aku harus selalu bersyukur. Sudah aku lakukan setiap hari untuk menyingkirkan segala pikiran buruk dan selalu bersikap jika masalah itu tidak ada. Yang ada hanya rasa syukur dan senyum palsu sebagai ibadah katanya.
“Prestasi kamu turun dan semua nilai kamu turun, ada apa sebenarnya sama kamu?”
Hah? Aku terkejut saat mereka bilang seperti itu. Sungguh aku ingin menangis, tidak pernahkah kalian sadar telah membuat tekanan hidupku? Aku ini terlalu melankonis, sampai-sampai aku menangis dan menjadi bayang-bayang pertanyaan.
“Aku butuh cinta... cinta seseorang yang bisa menemani aku agar melupakan segala kesedihan dan mengobati dengan kasih sayang.”
***
“Akhhh...”
Terbangun.
Apa yang telah aku mimpikan selalu saja tetap sama. Aku sudah meminta, tapi tak pernah kau berikan. Seberapa jauh lagi aku terus memimpikan setiap perjalanan sedu ini? Dititik mana aku akan berhenti berjuang sendiri? Aku terdiam meneliti ruangan hampa yang diselabuti oleh sarang dan begitu polos dinding bercat putih ini. Aku sadar, selama ini terlalu banyak ilusi yang meninggalkan cerita. Selama ini terlalu banyak bayangan yang tak pernah nyata hadir di setiap imajinasiku saja. Selama ini juga aku terlalu mengurung diri dalam lingkup sempit.
Lepas. Aku ingin terlepas dalam dosa kebohongan ini. Berpura-pura baik saja itu terlalu munafik. Pikiran dan hatiku sedang sakit. Satu minggu lagi aku akan melaksanakan hidup dan mati untuk menjelang masa depan. Jika waktu telah merenggut segala mimpiku, maka aku tak akan pernah bisa diam membiarkan mimpi itu termakan waktu. Aku harus bangkit melawan dunia.
Cinta itu tidak akan pernah datang. Percayalah, sekarang aku sedang tidak percaya dengan cinta. Aku sudah tidak percaya lagi akan ada kebahagiaan, karena yang aku rasa selalu sedih. Aku menepi pada daratan yang bisa menghapus air. Aku tidak akan lagi tenggelam pada masa pahit. Cukup hidup ini saja sudah hambar dan pahit. Oleh sebab itu, kubur saja harapanmu untuk memiliki teman hidup selagi aku masih belum bisa menemukan kepercayaan dalam hal cinta.
“Aduh, sakit!” aku meringis saat jatuh menyentuh aspal panas dan kasar itu. Seperti hidup yang selalu kasar padaku.
“Bangunlah, aku tidak suka sama perempuan yang jatuh hanya karena tidak percaya diri untuk melihat kedepan.”
Aku mendengar suara serak bernada dingin dari khas seorang pria. Perlahan kukibaskan rambut panjang ini yang selalu menutupi wajah cantikku dari pandangan di depan. Sehingga aku mendongak menatap langit biru, lebih tepatnya ada seseorang yang sedang berdiri di antara langit biru itu.
Dia ada menawarkan rasa percaya diri kepadaku. Di saat itu aku merasa dunia ini sedang ingin melihatku percaya diri kembali. Jika memang dia bukanlah bagian dari mimpi seduku lagi, tolong buat aku percaya diri. Agar aku merasa mimpi sedu itu akan hilang. Agar aku tidak iri kepada mereka yang memiliki teman hidup. Agar aku terhapus dari setiap mimpi untuk menerawang wajah tampan seorang pria dan membohongi diri jika aku adalah kekasih diri sendiri.
Di saat itu, aku menerima uluran tangan seorang pria tampan yang terkena terpaan sinar matahari. Pria itu seolah menularkan sebuah sinar untuk menghapus mimpi seduku. Apalagi saat aku menyentuh senyumnya yang terasa amat nyata. Benar, dia nyata dan bukan lagi mimpi dalam teman tidurku yang semu. Bukan lagi bayangan yang aku ciptakan sendiri.
“Namaku, Langitan Kalvano.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar